Kata Penghobi dan Pengusaha Hidroponik Sukses | Pasar Modern, salah satu target pemasaran produk sayuran hidroponik
Semula Hobi, Jadi Bisnis
Beberapa tahun yang lalu halaman rumah Roni Arifin di Kawasan Pamulang, Kota Tangerang Selatan, Banten diisi satu rangkaian hidroponik semiportable sederhana tingkat tiga. Puluhan selada yang ditanam pada rangkaian itu dipanen untuk kebutuhan sehari-hari. Dari sekadar coba-coba, keberhasilan itu akhirnya mendorong Roni mengembangkan usaha budidaya sayuran dengan sistem hidroponik dalam masa satu tahun.
Pasar Modern, salah satu target pemasaran produk sayuran hidroponik
Untuk memuluskan bisnis, sarjana teknik alumnus Institut Teknologi Indonesia itu memutuskan untuk membuka kebun hidroponik di lahan seluas lebih kurang 2.300 m2. Keputusan yang diambil ternyata membuahkan hasil yang menggiurkan. Selang waktu dua tahun berbisnis hidroponik, pendapatan dari kebun miliknya menjadi sumber uang tambahan.
Bapak Roni menanam 8 jenis selada eksklusif antara lain romaine, butterhead dan endive. Selada-selada yang umumnya dikonsumsi kaum ekspatriat itu selama ini dipasok dari impor dan masih jarang dibudidayakan di tanah air. Ia menanam selada-selada itu di 11 rangkaian talang hidroponik. Satu rangkaian terdiri dari 32 talang polivinil klorida (PVC) masing-masing sepanjang 4 m. Setiap talang terdiri dari 20 tanaman. Jadi saat semua penuh terisi, total populasi 7.040 tanaman.
Dari beragam teknik hidroponik yang ada, pria yang belajar hidroponik dari Internet, teman, dan buku itu mengadopsi sistem hidroponik nutrient film technique (NFT) lantaran praktis, ringkas, dan mudah merawat. Sistem itu mengalirkan air yang mengandung nutrisi secara kontinu menuju talang yang diposisikan dengan kemiringan 5%. Artinya, selama sistem berjalan, lapisan tipis setebal 3-5 mm. Aliran itu menjadikan kadar oksigen terlarut berada dikisaran 6-10 ppm di suhu air 24-25 derajat C.Satu sikus penanaman hingga panen berlangsung 35 - 42 hari. Dalam sebulan terhitung ada 22 hari panen. Sekali panen atau satu hari, Roni memperoleh rata-rata 64 kg sayuran daun - jumlah panen kisaran 50-70 kg yang diperoleh dari satu rangkaian talang hidroponik. Satu kg sayuran rata-rata berisi 10 tanaman. Semua hasil panen ditujukan untuk memasok hotel berbintang, dan food court sebuah lapangan golf di Jakarta.Ia membandrol produknya bervariasi antara Rp. 35.000 - Rp. 70.000 per kg tergantung jenis selada. Dengan harga rata-rata Rp. 40.000 per kg, Roni meraup omzet Rp. 2,56 juta sekali panen.
Lahan Pekarangan
Masih di Pamulang, ada Kunto Herwibiwo. Selama 4 tahun ia mengelola kebon hidroponik di atas lahan seluas 1.000 m2. Kunto memutuskan terjun di usaha sayuran hidroponik setelah 2 tahun bekerja di sebuah perusahaan penghasil sayuran hidroponik. Berbekal pengetahuan dan pengalaman semasa kerja itulah ia membangun bisnis di lahan milknya yang berada di tengah permukiman penduduk.
Dari lahan itu Kunto panen total 80-100 kg sayuran per hari yang terjual dengan harga Rp. 35.000 - Rp. 45.000 per kg. Harga endive Cichorium endivia, misalnya, Rp. 35.000; sedangkan butterhead, Rp. 40.000 per kg. Teknik hidroponik skala komersial yang dipakai Kunto serupa dengan yang digunakan Roni yakni NFT menggunakan rangkaian tanam dari talang air yang disusun sejajar.
Talang diletakkan sejajar dengan rangka pipa di bagian bawah tetapi diposisikan dengan kemiringan 5% sehingga air yang mengalir pada talang mengalir ke arah yang lebih rendah. Selain itu, ia pun membiarkan tanaman hidroponiknya bebas menikmati sinar matahari tanpa atap atau dinding penutup.
Sayuran daun, jenis sayuran yang banyak dibudidayakan secara hidroponik
Kunto panen setiap hari, kecuali Minggu. Dengan produksi minimal 80 kg per hari dan harga minimal Rp. 35.000 per kg, omzet Kunto dari lahan sendiri memang fantastis, Rp. 61-juta per bulan. Ia mengatakan biaya produksi sayuran hidroponik mencapai Rp. 18.000-Rp. 22.00 per kg.
Pehidroponik lainnya, Andi Wibowo, di Karanganyar, Jawa Tengah, memasang 6 rangkaian pipa PVC bertingkat dengan rangka baja ringan dalam sebuah rumah tanam berdinding kasa di lahan seluas 400 m2. Setiap rangkaian terdiri dari 10 pipa sepanjang masing-masing 10 m. Di permukaan pipa itu tumbuh berbagai jenis sayuran seperti selada, pakcoy dan kailan.
Ia rutin memanen 4-5 kg sayuran hidroponik dua kali sepekan - pada Rabu dan Sabtu. Alumnus Institut Teknologi Bandung itu memasarkan sayuran hidroponik ke restoran di Kota Surakarta dengan harga jual Rp. 10.000 - Rp. 15.000 per kg untuk pakcoy, selada Rp. 20.000 per kg, dan kailan Rp. 30.000 per kg. Dalam satu bulan, penghasilan tambahan sebesar Rp. 1-2 juta diperoleh pria yang berprofesi sebagai ahli teknologi informasi itu dari berbisnis sayuran hidroponik.
Teras depan rumah pun dimanfaatkan untuk berkebun hidroponik. Citra Dyah Kusumawardani, di Depok, Jawa Barat, memasang 6 buah pipa PVC berdiameter 4 cm sepanjang 4 m di dinding teras depan rumahnya. Di setiap pipa terdapat 20 lubang berjarak antarlubang 20 cm. Lubang-lubang itulah yang menjadi tempat meletakan "pot" untuk menanam caisim, pakcoy, dan kangkung. Di teras itulah ia rutin memanen 3-5 ikat caisim, setara 100-200 g, 2 kali sepekan. Selain untuk konsumsi pribadi, sayuran juga dipasarkan ke rekan kerjanya di kantor.
Ide "petik sendiri" pula menginspirasi Noki Prasixner di Serang, Banten, menanam sayuran hidroponik di atas lahan 250 m2. Mulanya ia hanya iseng menanam sayuran dalam kotak-kotak bekas makanan ukuran 40 cm x 30 x 20 cm. Kini, ia menanam dalam meja tanam berpompa listrik. Konsepnya memadukan penanaman hidroponik dengan rumah makan yang menyelenggarakan lalapan sehingga pelanggan dapat langsung menikmati sayuran segar yang dipetik beberapa saat sebelum di konsumsi.