Hidroponik bukan hanya masa depan pertanian bagi segelintir negara. Potensinya bagi pengembangan pertanian di masa mendatang jelas sangat besar mengingat peningkatan produksi bahan pangan adalah harga mati yang harus diterima dengan adanya pertumbuhan populasi penduduk dari tahun ke tahun.
Peningkatan populasi penduduk berimbas pada peningkatan kebutuhan akan bahan pangan segar. Efeknya semakin kompleks ketika penduduk pedesaan yang menjadi tulang punggung penghasil produk pertanian semikin menipis karena akibat dari urbanisasi.
Peralihan lahan pertanian menjadi lahan industri mendesak para pelaku agribisnis perlu mencari siasat untuk memanfaatkan lahan sempit untuk meningkatkan produksi. Terkikisnya lahan pertanian dan tenaga kerja produktif tidak hanya menjadi masalah pada negara yang sedang berkembang. Hal yang sama juga terjadi pada negara maju seperti Belanda dan Jepang.
Teknik hidroponik dilaporkan menjawab persoalan tersebut. Mauricio Mathias, konsultan sayuran greenhouse dan penulis lepas di Brazil, dalam sebuah artikelnya menuliskan tentang produksi tomat dalam sebuah rumah tanaman hidroponik di barat daya Amerika Serikat mencapai 55 kg/m2. Hal tersebut 10 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan hasil rata-rata yang didapatkan pada penanaman yang dilakukan secara konvesional di lapangan pada wilayah Amerika Serikat pada umumnya.
Namun, kendala muncul akibat dari tingginya biaya investasi dari pada hasil yang didapatkan. Teknologi greenhouse berpadu dengan hidroponik membutuhkan biaya 20 kali lipat lebih tinggi dibandingkan penanaman di lapangan. Untuk mengejar efisiensi, inovasi teknologi terus dikembangkan termasuk mencari teknik-teknik revolusioner menghasilkan bahan pangan secara massal.
Jepang pun tengah berbenah. Sebagai negara yang terkenal dengan teknologinya, Jepang mengembangkan teknologi hidroponik dalam ruangan untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya akan sayuran sehat dan bebas kontaminasi radioaktif. Setelah dirundung musibah gempa dahsyat yang menyebabkan hancurnya pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima Dai-Ichi, Jepang, pada tahun 2011, masyarakat mulai dihantui oleh masalah ketahanan pangan serius lantaran timbulnya kecurigaan kontaminasi pada sayuran produksi lokal. Sentra penanaman sayuran pun tergilas limpasan air laut sehingga tidak lagi layah untuk ditanami.
Sebelum terjadi gempa, impor Jepang untuk produk makanan sudah terbilang tinggi. Angka tersebut meningkat pascagempa. Sektor pertanian yang didominasi kaum lanjut usia tidak memungkinkan regenerasi untuk memenuhi kebutuhan bagi penduduk Jepang yang jumlahnya terus berkembang. Teknik hidroponik digadang-gadang menjadi solosinya.
Salah satunya yang dikembangkan China University bekerjasama dengan Mirai Co Inc yang dikenal dengan PFAL (plant factory with artificial light). It sebuah sistem budidaya sayuran secara hidroponik di ruang tertutup dengan bantuan cahaya tambahan sebagai pengganti sinar matahari. Mereka memanfaatkan filter cahaya biru, merah, dan hijau serta reflector cahaya untuk membuat lettuce tumbuh lebih cepat. Lazimnya lettuce dipanen pada umur 40 hari. Dengan teknik hidroponik dalam ruangan menjadi 35 hari. Penanaman dalam ruangan memungkinkan kondisi dalam ruangan diatur sesuai kebutuhan. Pengaturan suhu misalnya. Bila ingin meningkatkan tingkat kemanisan sayuran, suhu diturunkan sekitar 2-3 hari sebelum panen.
Budidaya dilakukan pada rak-rak besi bertingkat 12. Teknik hidroponik yang dipakai adalah NFT. Pencetusnya Toyoki Kozai, profesor emeritus Center for Environment, Health and Field Sciences, Chiba University, Japang. Inovasi itu tercipta berlatar belakang masalah minimnya lahan pertanian di wilayah perkotaan.
Menurut Prof. Kozai, biaya investasi memang tinggi 1 milliar yen yang setara Rp. 100-miliar. Biaya listrik menyedot sekitar 20-25% biaya produksi. Namun produktivitas lahan juga tinggi mencapai 2.800 selada per m2.
Penggunaan LED untuk pencahayaan tanaman dalam ruangan umum digunakan di Jepang. Di Prefektur Miyagi, Sony Corporation mengembangkan "pabrik" sayuran di ruangan seluas setengah lapangan bola. Rak-rak tanam disusun hingga 16 tingkat ke atas. Untuk luasan tersebut, lampu LED yang di pakai berjumlah 17.500 lampu. Produksinya menakjubkan, 10.000 lettuce per hari! Perusahaan mengklaim waktu produksi terpangkas 2,5 kali lebih cepat dibandingkan penanaman diluar ruangan dengan penggunaan air hanya 1% dari kebutuhan air penanaman metode konvensional.
Di Jepang, penggunaan cahaya artifisial untuk menumbuhkan tanaman diaplikasikan sekurangnya di 168 tempat. Sistem PFAL terbesar dikembangkan di Kyoto pada tahun 2006 dengan total produksi 23.000 selada per hari. Peringkat kedua, milik perusahaan Mirai Co Inc yang bekerjasama dengan Mitsui Real Estate Inc. Kapasitas "pabrik" seluas 1.400 m2 itu mencapai 10.000 selada per hari. Selain Jepang, teknologi PFAL juga mulai diterapkan di Singapura dan Mongolia pada tahun 2014.
Rumah tanam spektakuler lainnya yakni granpa dome. Rumah tanam hidroponik istimewa berbentuk kubah itu dirancang oleh The Gandpa Corporation. Menurut Teakaaki Abe, selaku CEO The Gandpa corporataion, rumah tanam itu didesain untuk menciptakan lingkungan yang menarik kaum muda terjun dalam bisnis pertanian. Harap mafhum, regenerasi pekerja sektor pertanian di Jepang agak tersendat lantaran memberikan sumbangan pendapatan yang relatif kurang stabil bagi pelakunya. Taaki berharap teknologi yang ditawarkannya melalui granpa dome mampu diwariskan pekebun berusia lanjut kepada generasi muda sehingga pertanian di Jepang dapat terus berkembang.
Dome pertama dibangun di Prefektur Kanagawa pada tahun 2004. Pada bulan Agustus 2012, pascagempa besar menghantam Jepang, enam granpa dome dibangun di Rukuzentakata, Kota Iwata, Prefektur Shizuoka - satu wilayah yang terkena dampak besar akibat gempa. Hanya perlu 2 minggu untuk membangun satu buah kubah. Luasan lahan yang dibutuhkan sekitar 672 m2.
Langit-langit kubah terbuat dari plastik film lapis dua yang memungkinkan cahaya masuk ke semua sisi sehingga mendukung fotosintesis tanaman. Namun, bahan juga dapat menahan panas hingga intensitas tertentu yang dibutuhkan tanaman. Pintunya terbuat dari alumunium dan jendela semitransparan terbuat dari bahan polikarbonat. Kubah dilengkapi sensor yang terpasang pada sebuah tiang. Sensor berfungsi memperhitungkan kecepatan angin, suhu, dan curah hujan di luar kubah. Informasi yang diperoleh selanjutnya diteruskan pada sistem panel kontrol dalam kubah. Pada tepian kubah terdapat delapan blower angin dan empat mengatur suhu ruangan yang diletakkan pada empat sisi berbeda untuk menjaga kelembaban.
Bibit sayuran daun yang ditanam diletakkan berbaris dalam lingkaran mulai dari bagian lingkar dalam ke luar. Untuk menanam, pekerja perlu melewati sebuah jembatan yang mengarah ke titik tengah "piringan" meja tanam. Di tengah itulah pekebun mulai menanam benih satu per satu. Konstruksi meja tanam dibuat setinggi pinggang orang dewasa. Itu memudahkan pekebun berusia lanjut untuk melakukan aktivitas penanaman maupun panen karena mereka tidak perlu membungkuk.
Kapasitas tanam kubah berdiameter 29 m itu mencapai 14.000 - 15.000 lubang tanam untuk jenis sayuran lettuce lengkap dengan tangki nutrisi berdiameter 20 m. Granpa didesain meminimalisasi penggunaan pupuk bahan kimia. Sistem fertigasi NFT membuat tanaman mendapat cukup air dan makanan selama 24 jam.
Pencahayaan mengandalkan sinar matahari yang masuk ke kubah beratap transparan itu. Setelah bibit diletakkan, tenaga kerja tidak diperlukan lagi sampai akhirnya tiba waktu panen pada hari ke-30. Panen dilakukan mulai dari sisi lingkaran terluar. Demikian seterusnya hingga, sayuran siap panen selalu berada di bagian terluar. Rata-rata panen per hari pada satu kubah mencapai 400 tanaman.
Bagaimana dengan Cina? Sebagai negara terpadat didunia. Cina telah mengembangkan teknologi hidroponik modern sejak 1970. Komoditas yang dikembangkan antara lain padi dan pembibitan sayuran.Seperti yang dilaporkan Xing YX dan Meng XD dalam Acta Horticulturae 481, peneliti Shandong Agricultural University (SAU) mengembangkan sistem hidroponik yang dinamakan "Lu-SC".
Sistem penanaman tanpa media tanah itu menggunakan teknik irigasi tetes dengan kombinasi penggunaan media tanam berupa pupuk padat yang diletakkan dalam bedengan berlapis plastik film PE 0,1 mm di bagian bawah sisinya. Penggunaan plastik ditujukan untuk mencegah hama dan penyakit tular-tanah. Tetesan air yang diberikan pun hanya berupa air bersih tanpa nutrisi. Menurut Weijie Jiang, peneliti Institute of Vegetable and Flower, China, dan rekan, cara itu menghemat penggunaan biaya pupuk 60% dan investasi awal hingga 80% dibandingkan dengan menggunakan larutan nutrisi hidroponik untuk pemupukan dan penyiraman.
Tanaman hidroponik pada teknik NFT memperoleh nutrisi lewat air yang dialirkan dalam talang pipa PVC dengan debit rendah dan ketinggian air hanya beberapa mm dari dasar talang atau pipa PVC.
Selain Lu-SC, teknik hidroponik NFT (nutrient film technique), DFH (deep-flow hydroponics), kultur polibag, dan kultur rockwool juga diterapkan pekebun hidroponik di Cina. DFH alias DFT (deep-flow-technique) merupakan teknik tanam menggantung dengan bak nutrisi setinggi 5-8 cm dibawahnya. Sistem yang banyak diterapkan di daerah tropis dan subtropis China seperti provinsi Guangdong itu memungkinkan tanaman "bernapas" stabil karena ada pendeda antara pangkal akar dengan permukaan larutan nutrisi. Sedangkan kultur polibag menggunakan "kantong" berukuran 70 cm x 35 cm berisi 18 liter media tanam. Teknik yang digunakan untuk budidaya tomat dan mentimun itu mulai kurang diminati sejak tahun 1995. Begitu juga kultur rockwool yang kurang diminati karena membutuhkan biaya tinggi.
Penanaman sayuran hidroponik di China kini berkembang di wilayah Pudong. Fengxian, Baoshan, Jiading, Minhang, Songjiang, Jinshan, dan Chongming Country. Teknik hidropoinik mutakhir di negeri Tirai Bambu itu antara lain penanaman sayuran dalam greenhouse impor asal Belanda yang menggunan sistem kontrol terkomputerisasi.
Sistem kontrol produk serupa dipasarkan dengan beragam label seperti Agrimax, Priva, Argus - itu dilengkapi sensor yang untuk memantau parameter lingkungan rumah kaca atau greenhouse. Parameter itu meliputi suhu larutan nutrisi dan udara rumah kaca, kelembaban relatif dan konsentrasi karbondioksida dalam rumah kaca, intensitas cahaya dari sinar matahari dan pencahayaan tambahan, pH, tingkat oksigen terlarut (DO), dan konduktifitas listrik (EC) dari larutan nutrisi. Sensor akan mengkomunikasikan kondisi lingkungan ke komputer kontrol yang selanjutnya mengaktifkan langkah-langkah pengendalian lingkungan seperti pemanasan, ventilasi, dan pencahayaan.
Wilayah pengembangan hidroponik lainnya di Australia tersebut di Victoria, Australia Selatan, Queensland, Australia Barat dan Timur serta Tasmania. Kelimanya merupakan wilayah penghasil bunga potong-mawar, gerbera, anyelir dan lisianthus, tomat dan selada. Komoditas lainnya: mentimun, pabrika, terong, dan stroberi juga diusahakan dalam luasan yang lebih kecil.
Negeri Kanguru memang bukan pemain hidroponik pemula. Ia termasuk 10 negara produsen hidroponik komersial dunia. Survei yang dilakukan pada tahun 1997, teknik yang banyak diterapkan di Australia yaitu NFT (38%), kultur media seperti perlite dan kerikil (media-based) 16% dan aeroponik (2%) untuk tipe sistem tertutup (terjadi sirkulasi nutrisi).
Tanaman Sekulen di Belanda yang dibudidayakan dalam pot sebuah greenhouse di dukung teknologi penyiraman pasang surut.
Sedangkan untuk sistem terbuka (nutrisi tidak disirkulasi) dengan media rockwool sebanyak 13% dan media lainnya 30%.
Biasanya sistem terbuka banyak diterapkan pekebun bunga potong hidroponik. Sedangkan sistem tertutup seperti NFT digunakan untuk penamanan selada. Berbeda dengan di Belanda, penanaman hidroponik di Australia setengahnya didominasi penanaman tanpa rumahkaca alias outdoor. Sisanya mengandalkan shadehouse, plastic film greenhouse, dan greenhouse lain.
Untuk melayani pasar dalam jumlah besar, pemasaran berkelompok dilakukan pekebun hidroponik untuk satu jenis komoditi tertentu. Misalnya Tomat Flavorite di wilayah Victoria dan lettuce Laotus Red di wilayah New South Wales. Pasar ekspor untuk produk hidroponik Australiapun sudah merambah Hongkong, Singapura, Malaysia, dan Taiwan.
Lalu siapa negara produsen hidroponik di dunia? Jawabnya : Belanda, Negeri Kincir angin itu diyakini menjadi kiblat semua negara pengembang teknik hidroponik. Total luasan tanah hidroponiknya mencapai 10.000 ha. Data yang diluncurkan Rural Industries Research & Development Corporation (RIRDC) pada tahun 2001 silam menyebut Belanda sebagai produsen hidroponik disusul Spanyol (400 ha), dan Italia (400 Ha). Negara besar lainnya, Australia, diperkirakan memiliki 500 ha lahan hidroponik.
Produk hidroponik di Belanda menyumbang 50% dari nilai semua buah dan sayuran yang dihasilkan di dalam negeri. Komoditas utama yang banyak dibudidayakan yakni pabrika, tomat, dan mentimun serta bunga potong terutama mawar, gerbera, camation, dan krisan. Sebagian besar pasar ditujukan untuk ekspor. Hampir semua kegiatan produksi dalam rumahkaca di Belanda menggunakan teknik hidroponik dengan sistem NFT dan kultur rockwool.
Netherlands Departement of Environment, food and Rural Affair (NDEFRA) menyebutkan sistem penjualan melibatkan broker dan lelang tidak lagi digunakan untuk menjual produk hidroponik. Sebagai strategi menghadapi persaingan ketat terutama dari wilayah Eropa selatan yang mampu memproduksi dengan biaya lebih rendah, pekebun di Belanda memilih kontrak langsung dengan pengecer.
Skala usaha pekebun komersial di Belanda memang terbilang besar. Sebut saja Parasol. Produsen pabrika kuning hidroponik itu sekali musim menanam sekitar 100.000 bibit habis ditanam dalam 2 hari. Setiap meter persegi, panen pabrika diperoleh mencapai 30 kg. Dengan lahan produksi seluas 3,5 ha, panen mencapai 1.000 ton pabrika per tahun. Perusahan besutan Arie Solleveld itu mengekspor pabrika terutama untuk konsumen di Inggris hingga 75% dari total volume produksi. Sisanya masuk negara-negara lain di Eropa. Penanaman dilakukan dengan sistem irigasi tetes dan media tanam rockwool.